PERDALIN KOTAPRAJA

Kenapa Anak Saya Tidak Diberikan Antibiotik? (Bag. 1)

Kenapa Anak Saya Tidak Diberikan Antibiotik? (Bag. 1)

Kenapa Anak Saya Tidak Diberikan Antibiotik? (Bagi. 1)

dr. Krisna Adhi, Sp. A


“Kenapa anak saya nggak dikasih antibiotik dok?” Sahut si ibu sambil menatap saya kebingungan. “Memangnya aman ya?” Sambung ibu itu lagi.

Saya menatap pasangan muda tadi seraya tersenyum, lalu menjelaskan, tidak semua demam pada anak harus diberikan antibiotik. Meski demamnya tinggi sampai 40 derajat Celcius.

Pasien diare sedang menjalani perawatan di puskesmas

Saya menulis sebuah catatan kecil di buku KIA, agar si anak dibawa kembali bila dalam dua hari ke depan demamnya belum membaik, dan obat-obatan yang saya berikan hari itu, kebingungan dari raut wajah mereka akhirnya memudar setelah diberikan penjelasan.

Sakit Berulang Setiap Bulan?

Anak merupakan populasi yang istimewa. Pada usia prasekolah misalnya, mereka bisa mengalami sakit ringan (batuk pilek tanpa sesak napas, demam, diare ringan) hampir setiap bulan1. Kondisi ini terkadang membuat sebagian orang tua bertanya-tanya, apakah ada yang salah dengan sistem imun si anak?

Sebagian orang tua lainnya beranggapan bahwa bila anak mengalami demam tinggi atau batuk yang tak kunjung membaik, maka seharusnya antibiotik segera diberikan agar si anak sembuh. Celakanya, anggapan yang salah ini jika dikombinasikan dengan kondisi anak yang berulangkali sakit akan berujung pada penggunaan antibiotik yang tidak bijak.

Dan penggunaan antibiotik yang tidak bijak, akan berakhir dengan terjadinya resistensi antibiotik, yang tidak saja akan merugikan secara ekonomi, namun juga bisa mengancam nyawa si anak2.

Beban Berat Anak Bangsa

Ada beban berat yang disangga anak-anak bangsa ini, yakni di saat penyakit-penyakit masa lalu belum juga hilang (TBC, Pneumonia, Tifoid, Diare, dan lain-lain)3,4, kita sudah kedatangan penyakit baru seperti Flu Burung, SARS, dan tentu saja Covid-19 yang berstatus pandemi sejak hampir tiga tahun terakhir.

Celakanya, para ahli juga memprediksi pada tahun 2050 nanti akan ada 10 juta kematian setiap tahun di seluruh dunia akibat infeksi oleh bakteri super5, yaitu bakteri yang resisten antibiotik, bila kita tidak mengambil langkah pencegahan dengan serius sekarang.

Ancaman Nyata Resistensi Antibiotik

Bagi sebagian, orang resistensi antibiotik belum dianggap sebagai ancaman serius. Boleh jadi karena masih rendahnya pemeriksaan guna menilai resistensi antibiotik, sehingga kasus-kasus infeksi oleh bakteri super tak terungkap. Ia ada namun tidak terlihat.

Seorang anak berjalan di atas tumpukan sampai di sebuah saluran limbah di Karachi, Pakistan

Sebagian lain memandang resistensi antibiotik dan bakteri-bakteri super merupakan masalah di negara-negara maju saja, padahal faktanya tidak demikian. Sebagai contoh, sejak tahun 2016 merebak bakteri Salmonela typhi yang kebal terhadap lima jenis antibiotik: Kloramfenikol, Ampisilin, Co-trimoksazole, Fluorokuinolon, dan Sefalosporin generasi ketiga (Salmonela typhi XDR atau Extensive Drug Resistance) di Pakistan.6

Dalam kurun waktu lima tahun (2017-2021), ada 15.224 kasus Tifoid XDR di Pakistan, yang kemudian menyebar ke negara-negara lain seperti Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Denmark, dan Australia.7

Tifoid XDR ini menyebabkan angka komplikasi dan kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan infeksi Tifoid non-XDR. Belum lagi menghitung biaya pengobatan yang menjadi berlipat ganda. Tifoid berubah dari penyakit yang diremehkan, diterlantarkan, menjadi ditakuti kembali seperti ia dulu pernah menjadi momok di awal abad ke-20.8

Bersambung ke Bagian 2. 


Penulis merupakan Ketua Bidang Litbang & IT Perdalin Kotapraja, saat ini bekerja sebagai dokter anak di RS Mitra Keluarga Slawi.

Tinggalkan Balasan

You cannot copy content of this page