Kenapa Anak Saya Tidak Diberikan Antibiotik? (Bag. 2)
dr. Krisna Adhi, Sp. A
Langkah Apa yang Harus Diambil?
Permasalahan utama dalam mengatasi masalah resistensi antibiotik sebagiannya berada tepat di halaman depan: Kesalahan dalam mengenali infeksi mana yang perlu diberikan antibiotik dan mana yang tidak.1
Orang tua harus diberi pemahaman yang benar, bahwa tidak semua demam tinggi atau batuk pilek memerlukan antibiotik, bahwa penggunaan antibiotik yang serampangan (membeli sendiri antibiotik atau meminta diresepkan antibiotik kepada dokter) bukan sekadar pemborosan secara ekonomi, namun justru bisa membahayakan nyawa si anak.2
Selain itu surveilans terhadap kasus resistensi antibiotik secara konsisten dan berkualitas juga mutlak diperlukan, tidak hanya sebagai modal dokter dalam menangani pasiennya, namun sebagai acuan dalam pengambilan kebijakan dalam skala lokal, regional, maupun nasional.3
Mengatasi Infeksi dari Hulu
Jauh sebelum antibiotik menjadi perlu diresepkan, kita bisa melakukan upaya-upaya pencegahan infeksi. Melalui upaya promotif dan preventif. Misalnya memantau status gizi anak secara teratur, menjaga higiene dan sanitasi lingkungan, atau pemberian imunisasi sesuai rekomendasi IDAI.4
Sayangnya meski upaya pencegahan sebetulnya lebih cost effective (baca: murah) daripada upaya pengobatan dan rehabilitatif, namun perhatian yang diberikan untuk sektor ini dirasa masih kurang.
Sebagai contoh, meski vaksin Tifoid sudah dikenal sejak sebelum Perang Dunia Pertama dimulai5, namun kini lebih dari 100 tahun berselang, masih sedikit sekali orang tua bahkan tenakes yang tahu akan keberadaannya. Padahal ongkos melakukan vaksin pada satu anak hanya 1/7 dari biaya rawat inap anak karena Demam Tifoid, belum lagi menghitung kerugian karena orang tua yang kehilangan waktu kerja dan hilangnya waktu sekolah si anak.6
Hikmah di Balik Pandemi
Berita baiknya, kehadiran pandemi Covid-19 juga memiliki sisi positif, yakni munculnya kesadaran kolektif akan pentingnya pencegahan sakit: Penggunaan masker saat berada di kerumunan, kebiasaan mencuci tangan pakai sabun, dan meningkatnya kesadaran untuk melengkapi vaksin anak, selain dari imunisasi dasar yang digratiskan pemerintah.
Pandemi menjadi semacam katalis dalam proses perubahan perilaku masyarakat. Di era sebelum pandemi, tidak pernah terbayangkan bahwa di pintu masuk mall, stasiun, atau pasar disediakan fasilitas untuk mencuci tangan.
Dulu orang yang sedang batuk pilek bisa melenggang begitu saja bepergian tanpa menggunakan masker, sedangkan kini orang baik sakit ataupun sehat semua menggunakan masker saat berada di kerumunan. Hal-hal “kecil” seperti inilah rupanya menjadi komponen penting dalam penanganan pandemi, yang kini kita sudah berada di pintu keluarnya.
Maka dari itu, diperlukan peran semua pihak guna mengerem laju resistensi antibiotik. Tidak hanya menjadi tugas tenaga medis dan tenaga kesehatan, namun harus dimulai dari diri kita, dari hal-hal yang kecil, dan dimulai saat ini juga.
Penulis merupakan Ketua Bidang Litbang & IT Perdalin Kotapraja, saat ini bekerja sebagai dokter anak di RS Mitra Keluarga Slawi.
One Response